[MOVIE REVIEW] Maleficent
Anak-anak, khususnya yang “membrojol” ke dunia di atas tahun
2000-an, pasti sudah akrab dengan karakter princess Disney,
terutama dari buku-buku dongeng pengantar tidur dan senantiasa meneriakkan
kalimat “Aku pengin menjadi princess!” saat ditanya ingin mengenakan
baju apa di hari ulang tahunnya. Setelah dongeng Snow White yang direka
ulang menjadi Mirror Mirror (Julia Roberts, Lily Collins, Relativity
Media, 2012) yang dipenuhi warna cerah dan gelak tawa, dan Snow White
and the Huntsman (Charlize Theron, Kristen Stewart, Chris Hemsworth, Universal
Pictures, 2012) yang berlawanan dengan Mirror Mirror; aura gelap dan
kelam begitu terasa melingkupi Snow White and the Huntsman. Dongeng
milik Grimm Bersaudara juga diproduksi ulang Hollywood menjadi film ber-rating
R yang dijejali muncratan darah, potongan tubuh terlempar ke layar, dan
aksi yang tak jauh-jauh juga tetap melibatkan cairan merah kental itu; Hansel
& Gretel: Witch Hunters (Jeremy Renner, Gemma Anterton, Famke Janssen, Paramount
Pictures, 2013). Di tahun 2014 ini, Disney meluncurkan sebuah film
yang bersumber dari cerita si putri tidur, Sleeping Beauty, dengan sudut
pandang dari sang villain yang mengutuk Aurora untuk tidur
selama-lamanya, Maleficent. Perubahan terhadap beberapa aspek dalam penceritaan
sudah barang pasti dilakukan, di mana Maleficent diceritakan ulang sebagai
seorang peri yang baik hati, melindungi dunia Moors, tempat tinggal para
makhluk “aneh”, yang letaknya berseberangan dengan kerajaan manusia. Maleficent
sendiri merupakan debut penyutradaraan Stromberg dimana sebelumnya ia menjabat
sebagai production designer untuk film Oz the Great and Powerful (2013),
Alice in Wonderland (2010), dan Avatar (2009) dan ia memenangkan
Oscar untuk karyanya dalam Alice in Wonderland serta Avatar.
Maleficent (Isobelle Molloy, young Maleficent & Ella
Purnell, teen Maleficent) masih seorang peri cilik, memiliki sepasang sayap,
bertempat tinggal di Moors, dan melindungi segenap isinya dari kejahatan dunia
luar, termasuk ketika seorang manusia, Stefan, masuk ke dalam perbatasan Moors
dan mencuri sebuah permata. Setelah mengembalikan apa yang diambilnya tanpa
izin, Maleficent mengantarkan Stefan (Michael Higgins, young Stefan
& Jackson Bews, teen Stefan) untuk kembali ke dunia asalnya.
Perpisahan itu membawa keduanya ke pertemuan-pertemuan selanjutnya yang lebih
akrab dan intens.
Maleficent (Angelina Jolie, Changeling, Salt, Mr. & Mrs.
Smith) telah tumbuh dewasa. Kekuatannya semakin kuat. Kehidupan di dalam
dunia Moors yang berada dalam pengawasannya berjalan dengan aman, tertib, dan
penuh sukacita. Kerajaan manusia yang mendengar kekuatan perlindungan Moors
yang bertambah powerful, melancarkan serangan untuk menaklukkan Moors di
bawah pimpinan King Henry (Kenneth Cranham, The Legend of Hercules),
yang sayangnya dengan mudah dipaksa untuk tunggang-langgang mundur. Di sisi
lain, pada masa awal pemerintahannya, pasalnya King Henry pernah berjanji untuk
membawa Moors berada dalam genggaman tangannya. Tidak ingin nama yang ditinggalkannya
berbau busuk, King Henry pun menjanjikan siapapun yang dapat membunuh
Maleficent akan menjadi penerus tahta kerajaan. Stefan (Sharlto Copley, District
9, Elysium), mantan sahabat Maleficent yang telah tergoda oleh dunia
manusia, menjadi salah satu yang ambisius ingin mendapatkan kedudukan itu.
Berangkatlah Stefan ke Moors, memanggil nama Maleficent di
perbatasan Moors seperti yang dilakukannya dulu, meminta maaf karena sudah lama
tidak menemui Maleficent, bercanda akrab, dan saat malam menyongsong, Stefan
melancarkan niat terselubungnya. Maleficent kini terkapar tak sadarkan diri.
Pisau sudah berada di genggaman tangan, berkilau ditimpa sinar bulan. Hanya
satu sentakan saja, ujung pisau runcing itu menancap di punggung Maleficent dan
misinya tuntas. Rupanya, jiwa “manusiawi”-nya yang tertinggal seperempat masih
berhasil mengecohnya. Sebagai bukti bahwa ia telah membinasakan Maleficent,
Stefan akhirnya “hanya” memotong kedua sayap milik Maleficent dan
meninggalkannya sendirian dalam duka cita yang mendalam.
King Stefan kini telah menduduki kerajaan Manusia. Jiwa Maleficent
tak dinanya dirasuki dendam membara. Seekor burung, Diaval (Sam Riley), yang
berhasil diselamatkannya dari pembantaian dengan mengubah wujud si burung
menjadi seorang manusia, mengajukan permohonan diri untuk menjadi apapun yang
diinginkan Maleficent sebagai wujud terima kasih. Maleficent kini memiliki
mata-mata. Dan dari mata-mata tersebut, kabar sang Ratu telah melahirkan
seorang bayi masuk ke telinga Maleficent. Menyalurkan duka mendalam dan
membalaskan dendam, Maleficent mengutuk Aurora (Vivienne Jolie-Pitt, 5 yrs.
Eleanor Worthington-Cox, 8 yrs) menusukkan jarinya ke jarum pemintal
benang sebelum senja di perayaan ulang tahun ke-16-nya dan tertidur selamanya.
Hanya satu obat penawarnya, true love’s kiss. Takut akan hal itu, King
Stefan menitipkan Aurora di tangan 3 peri (Imelda Staunton, Juno Temple, Lesley
Manville) clueless (baca: tulalit) dan ceroboh yang memihak pada Aurora
yang innocent. Ketika Aurora (Elle Fanning, Super 8) telah
dewasa, mengenal Maleficent sebagai fairy godmother-nya, Maleficent pun
mulai goyah dalam mempertahankan kutukannya atau tidak.
Menceritakan kembali dongeng pengantar tidur berusia ratusan tahun
dengan menggunakan perspektif dari sang villain yang berubah menjadi
protagonis tidak lantas membuat dongeng ini dihantarkan dengan pendekatan yang
lebih mencekam dan mencengangkan mulut. Apa yang diceritakan dalam Maleficent,
memang sesuai dengan yang dijanjikan tagline-nya “Don’t Believe the
Fairy Tale”, menciptakan twist-twist yang membelokkan arah cerita ke
sesuatu yang lain. Mengubah sedikit latar belakang mengapa Princess
Aurora dapat tertidur dengan begitu pulas dengan sebuah adegan pembuka yang
agak mencengangkan dan mengejutkan, dimana Angelina Jolie sendiri telah
mengonfirmasi bahwa “pemotongan sepasang sayap Maleficent” yang dilakukan
Stefan adalah sebuah metafor dari pemerkosaan. Dan itu hanya berefek pada
setengah paruh awal film yang disertakan dengan sajian aksi berskala sedang
sekaligus memamerkan kegaharan Maleficent dan keajaiban dunia Moors. Sisanya? Mengecek
jam tangan dan menopang dagu adalah dua hal utama yang sudah paling mentok
dilakukan. Berterimakasihlah sebanyak-banyaknya Robert Stromberg kepada tim
spesial efek, departemen make-up untuk Maleficent, dan tentunya sang
pemeran utama, Angelina Jolie. Jangan harapkan Maleficent akan tampil
diselimuti alur cerita yang kompleks dengan atmosfer yang lebih kelam nan
gelap, maupun semacamnya (yeah, ini film produksi Disney). Spesial efek adalah
jualan utama Maleficent yang berhasil mencerahkan mata dengan
visualisasi Moors yang sungguh memanjakan mata dan mengusir setan-setan pembawa
kantuk yang disebabkan irama plot yang begitu flat dan nyaris tidak
membawa efek apapun dengan “sedikit perubahan” background dongeng Sleeping
Beauty. Datar, datar, datar, datar, datar, fleeeuuttt.
Beruntung Maleficent memiliki seorang Angelina Jolie. This
is Angelina Jolie, folks. Dengan fokus cerita yang berporos pada karakter Maleficent,
untungnya “pengkayaan” karakter Maleficent cenderung kuat. Menampilkan sosok
Maleficent yang penuh dendam dan beringas, kemudian luluh lantak menjadi
manusiawi dan penuh cinta akibat kepolosan Aurora yang tak pantas menerima
kutukan yang disebabkannya karena letupan emosi sesaat. Tipikal. Jolie, mampu
menghantarkan Maleficent dengan segala kebengisannya dan kerapuhannya. Tali chemistry
yang disambungkannya dengan Elle Fanning juga tampil dengan cukup manis dan
menghembuskan sedikit aura sentimentil ke udara dengan porsi Elle Fanning yang
lebih kepada sebagai pemanis layar. Diaval, “sayap” Maleficent, ikut nimbrung
dalam menemani tim spesial efek untuk menjaga pantat tidak gatal dan geser
kiri-kanan dengan menebarkan humor-humor sekedar lewat yang menerbitkan garis
lurus dengan lengkungan di kedua ujungnya. Sharlto Copley juga mencuri perhatian
dengan sumbangan akting depresi dan meledak-ledak dari King Stefan. Karakter
lainnya memang dihadirkan dengan tujuan numpang lewat saja.
Memasuki paruh akhir film, tuas tensi ketegangan pun dinaikkan
sedikit dan kembali aksi berskala sedang menampakkan diri dengan durasi yang
cukup singkat bagi penonton, khususnya dewasa, yang sudah hampir terkapar tidur
sepanjang pemutaran film. Dan itu sama sekali tidak meredupkan kumpulan awan disinari
cahaya matahari yang memayungi tubuh Maleficent. Maleficent tidak
lain adalah sebuah dongeng good-and-bad lainnya yang men-deliver-kan
ceritanya selangkah “lebih dewasa”. Premis yang dijanjikan di setengah paruh
awal film memang sangat memikat. Namun, apa yang terjadi setelah itu hingga
menuju penghujung film, sama sekali tidak membantu dalam pengembangan premis
itu menciptakan sebuah twist yang wow. Film ini memang diperuntukkan
untuk Maleficent; proses tahap “pertumbuhan” Maleficent dari seseorang yang
hilang arah bertransformasi menjadi seorang fairy godmother sejati
dengan hati bersih dari dendam dan amarah tak terkendali, serta dikelilingi
pusaran berbentuk love. Entah akan menjadi apa Maleficent jika Jolie
tidak bergabung. Maleficent memang cocok dijadikan sebagai pengganti
dongeng pengantar tidur. Setelah panorama Moors dan wajah sangar Angelina Jolie
memudar dari layar, nyeri pinggang, mata sendu, dan kuapan kantuk yang sedari
tadi tidak menampakkan wujud, mulai serentak menyerang. Bahkan dengan durasi 97
menit, masih terasa Maleficent sengaja dipanjang-panjangkan durasinya
dengan modal spesial efek dan Jolie. Meskipun telah sering menyaksikan Jolie
beradu hantam dan berguling ke sana-sini, penampilan Jolie sebagai Maleficent
dengan postur wajah dan kalimat pamungkasnya akan membuat Anda pikir-pikir dua
kali untuk melewatkan Maleficent.
best regards,
Erison
Rating:
5.5/10 stars
Directed by Robert Stromberg | Screenplay Linda
Woolverton, Charles Perrault (based from the story “La Belle au bois dormant”
by) | Produced by Sarah Bradshaw, Don Hahn, Angelina Jolie, Stephen
Jones, Lori Korngiebel, Scott Michael Murray, Joe Roth, Palak Patel, Matt
Smith, Michael Viera | Cast Angelina Jolie, Elle Fanning, Sharlto
Copley, Lesley Manville, Imelda Staunton, Juno Temple, Sam Riley, Kenneth
Cranham | Music James Newton Howard | Cinematography Dean Semler
| Editing Chris Lebenzon, Richard Pearson | Casting Lucy
Bevan | Visual Effects Supervisor Carey Villegas | Costume Design Anna B.
Sheppard | Production Design Dylan Cole, Gary Freeman | Art
Decoration David Allday, Robert Cowper, Elaine Kusmishko, Paul Lauiger,
Phil Sims, Frank Walsh, Ashley Winter | Set Decoration Lee
Sandales | Running Time 97 minutes | Rated PG for
sequences of fantasy action and violence, including frightening images
No comments: