[BOOK REVIEW] Perfect Valentine




Kapan terakhir kalinya kita menyaksikan sinetron berpuluh-puluh episode atau bahkan sampai beberapa season, sinetron-sinetron FTV berdurasi 2 jam, dan membaca novel-novel yang menggunakan plot yang sangat familier; benci-jadi-cinta? Mungkin beberapa hari yang lalu—atau bahkan semalam. Dengan konflik-konflik tambahan, twist-twist, dan gaya bercerita yang berbeda serta unik, plot tersebut mampu dikembangkan dengan baik menjadi sebuah film rom-com atau kisah cinta yang tak biasa dan terasa orisinal. Sebut saja Silver Linings Playbook, yang berhasil menyajikan kisah cinta antara sepasang insan manusia yang memiliki mental illness. Sayangnya, hal itu tidak terjadi kepada Perfect ValentinePerfect Valentine seperti sebuah repetisi dari apa yang sudah disajikan oleh Erlin Cahyadi dalam Love, Enemy, and Ian dengan plot yang sama persis. Hasilnya sendiri tidak terlalu mengecewakan, namun akan sangat mudah dilupakan dan tidak berbekas di hati pembaca.

Perfect Valentine memulai kisahnya dengan pertemuan antara sepasang remaja yang baru bertemu untuk pertama kalinya pada hari pertama MOS; Rebecca Wijaya dan Evan Tanuwijaya. Sialnya, sepasang remaja itu sama-sama terlambat pada hari pertama masa dimana anak-anak baru siap-siap dipanggang hidup-hidup oleh kakak-kakak kelas yang—biasanya—berakting kejam dengan sangat meyakinkan. Seperti yang sudah diprediksi, sang cowok menaruh hati kepada si cewek. Setahun berselang. Jika pada kelas X, keduanya berbeda kelas, kini pada kelas XI, keduanya diberikan kesempatan bertemu dalam satu kelas.

Harapan di hati Evan membuncah. Akhirnya, impiannya terwujud juga. Berbagai cara dan strategi untuk mendekati Echa, nama pendek Rebecca, sudah bermain di benak Evan. Namun, kenyataan bertolak belakang dengan harapan Evan. Echa sama sekali tidak kenal pada Evan. Sontak kekesalan muncul dalam hati Evan. Selama satu tahun menaruh hati pada cewek idamannya, dan sekarang cewek itu sama sekali tidak mengenalnya. Bertekad untuk tidak membiarkan Echa untuk melupakannya lagi, maka Evan melancarkan taktiknya dengan membuat Echa kesal hingga ke ubun-ubun setiap harinya—sampai di rumah sekalipun, Echa tak akan berhenti melupakan Evan. Cara itu berhasil. Echa kesal setengah mati terhadap Evan. Sampai kelas XII pun, masa terakhir SMA yang sering dijuluki sebagai masa paling indah dan tak akan dilupakan, Evan masih menyimpan rasa suka terhadap Echa. Dan berlalulah hari demi hari yang menyoroti sepasang remaja ini.

Perfect Valentine
, dalam jalan penceritaannya, tidak menawarkan hal baru apapun. Seperti novel-novel atau sinetron-sinetron FTV dengan tipe penceritaan serupa, Perfect Valentine terasa sangat datar dalam bercerita. Perfect Valentine seperti sebuah jelmaan versi tulisan yang lain dari sebuah sinetron FTV. Satu-satunya yang menjadi penyelamat Perfect Valentine adalah adu cekcok mulut antara Echa dan Evan yang tajam, spontan, kocak, dan tak ada habisnya. Adu argumen antara keduanya-lah yang selalu mengisi kekosongan cerita dan memicu tawa. Hal lain yang saya sukai adalah amanat yang diselipkan lewat karakter Ronald, adik Echa, yang tuna rungu—dibantu Evan yang tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk mencerca Echa.

Tentunya, momen-momen yang menjadi jembatan untuk pengembangan kisah romansa dari Echa dan Evan juga sudah disiapkan, di antaranya pertandingan basket, outbound di Puncak, dan lain-lain. Kembali, kekeraskepalaan dan ketidakmaukalahan antar dua tokoh utama yang paling mencolok dan membuat momen-momen tersebut berlangsung menyenangkan.

Karakter-karakter yang dihadirkan juga tidak dikembangkan dan tidak memunculkan perasaan simpati pada pembaca. Well, mungkin hanya Ronald yang mampu membuat pembaca bersimpati dengan porsi penceritaannya yang sangat sedikit. Echa dan Evan dibiarkan begitu saja membangun perasaan suka terhadap satu sama lain tanpa adanya penggalian latar belakang karakter yang signifikan. Perfect Valentine, harus diakui, sebenarnya dapat menjadi sebuah presentasi cerita yang tidak terlalu lemah dengan adanya konflik-konflik lain yang timbul di samping kekisruhan hubungan Echa dan Evan yang dapat dikembangkan menjadi konflik sampingan yang menarik untuk diikuti. Sayangnya, Erlin Cahyadi lebih memfokuskan kepada bagaimana cara agar Echa dan Evan dapat mengenal satu sama lain sebagai sosok-yang-sebenarnya-baik, sehingga timbullah pendar-pendar cinta. Missed opportunity.

Setelah perang kalimat sengit dan adegan-adegan yang memancing tawa dimunculkan dengan intensitas yang berkurang di bab-bab terakhir, yang kemudian digantikan dengan dialog-dialog antara Echa dengan Fika, sahabatnya, dan Evan dengan Rafael, sohibnya, untuk “menyadarkan” kedua tokoh utama tentang perasaan masing-masing, kebingungan Evan mengutarakan perasaannya dan langkah yang akhirnya diambilnya, serta dampak setelah tindakannya itu, rasa bosan mulai menghinggapi dan sempat membuat saya memutar bola mata. Untung, hal tersebut terjadi pada 5 bab terakhir, sehingga rasa penasaran pembaca masih dapat terpancing, meskipun ending-nya sudah diprediksikan dan dijanjikan sesuai dengan judulnya.

Perfect Valentine sebenarnya berjalan dengan cukup seru, namun dengan konflik yang begitu dangkal dan tidak adanya twist-twist yang dicoba untuk dihadirkan dalam jalan penceritaan, membuat Perfect Valentine tampil dengan begitu lemah. Tidak buruk, cocok sebagai bacaan untuk pengisi waktu luang dan pelepas penat, tetapi... akan sangat mudah dilupakan!

6/10 stars

Judul: Perfect Valentine
Penulis: Erlin Cahyadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Desain kover: Regina Feby
Tahun terbit: Februari 2014 
Jumlah halaman: 216 halaman

best regards,
Erison

No comments:

Powered by Blogger.