[BOOK REVIEW] Relung Rasa Raisa
2 tahun setelah novel debutnya, Flavia de Angela (2012, Gramedia Pustaka Utama), dikonsumsi para penikmat buku, pada akhir tahun 2013, novel kedua dari Lea Agustina Citra berlabuh di penerbit PlotPoint dengan mengusung judul Relung Rasa Raisa. Jika pada Flavia de Angela, Lea menggunakan sudut pandang orang
pertama dari Flavia untuk menggelar cerita, di Relung Rasa Raisa, Lea mencoba
menantang dirinya untuk menulis melalui sudut pandang orang ketiga. Dengan
peralihan genre dari dunia fantasi penuh rekaan imajinasi ke drama-romantis young adult yang dipenuhi adegan emosional,
apakah Relung Rasa Raisa dihantarkan ke hadapan pembaca dengan
tepat atau lebih mengarah ke area sebaliknya?
Relung Rasa
Raisa memulai ceritanya dengan berpusat pada si
tokoh utama, Raisa, yang melangkahkan kakinya dari Jakarta ke kota Frankfurt,
Jerman pada tahun 2013. Tepat di sana, sedang diadakan Frankfurt Book Fair
dengan Indonesia yang menjadi guest
of honor acara tersebut. (note: Indonesia dinobatkan sebagai guest of honor-nya Frankfurt
Book Fair pada tahun 2013 ditulis hanya demi perguliran cerita) Tentu, Raisa
tidak pergi sejauh itu tanpa memikul beban berat di bahunya. AhA Publishing,
penerbit dimana Raisa bekerja sebagai seorang editor, terancam bangkrut. Dengan
harapan akan mampu membeli copyright beberapa buku yang
diprediksikan mungkin akan menjadi mega best-seller di Indonesia, Dru, sang bos, menunjuk
Raisa melaksanakan tugas yang memiliki konsekuensi maha berat tersebut.
Mata Raisa terpaut pada sebuah novel, Cedar Incense, karangan Jan
Marco yang begitu digandrugi dengan latar belakang kerusuhan memilukan Mei
1998. Setelah menggunakan kacamatanya sebagai seorang editor senior bahwa Cedar Incense dapat membangkitkan harapan AhA
Publishing untuk berdiri tegak kembali, sayangnya, Jan Marco dengan ketus
menegaskan bahwa Cedar Incense tidak akan, tidak boleh, dan tidak
akan pernah terbit maupun beredar di Indonesia, negeri yang merupakan asal
muasal cerita Cedar Incense.
Berpegang teguh pada tekadnya, Raisa memulai petualangannya menjelajahi Jerman
dari Frankfurt hingga Aachen untuk membujuk Marco memberikan copy right Cedar Incense pada dirinya. Namun, ada hal lain yang
tak dapat dibaca oleh kacamata editornya. Sang pria dari masa lalu, pria
terkutuk yang dijauhinya selama ini, pria yang menyandang julukan You-Know-Who, pria yang tak
diizikannya untuk menampakkan bulu matanya di depan Raisa, sekonyong-konyong
melawan keinginan Raisa dan berdiri di depan batang hidung Raisa, memutar
kembali roll film masa lalu, menyegarkan
kembali luka yang sudah Raisa kira sembuh. Apa second chance berlaku dalam kisahnya? Apa pria itu
pantas menerima kehormatan yang langka itu? Apakah second chance akan merenovasi seluruh reruntuhan
yang berserakan menjadi sebuah istana megah nan kokoh?
Well, untuk kali ini, saya agak kecewa dengan apa
yang Lea tawarkan dalam Relung
Rasa Raisa. Menguap dan rasa bosan. Dua hal itu seringkali melanda di
bab-bab awal menuju pertengahan. Rentetan dialog yang dihadirkan tanpa jeda
dalam satu paragraf membuat mata men-skip beberapa
kalimat. Relung Rasa Raisa sebenarnya menawarkan cerita yang
cukup padat. Dengan penggunaan alur maju-mundur untuk memberikan kisi-kisi apa
kaitan masa lalu Raisa dengan masa sekarangnya yang ampuh memancing rasa
penasaran, Relung Rasa Raisa akan berjalan lebih menyenangkan dan
membangkitkan suasana penceritaan menjadi lebih menarik, andai saja mata
pembaca dapat tersegarkan. Minimnya deskripsi menjadi salah satu faktornya.
Berlatar tempat di Jerman, kesan “Jerman” yang didapatkan pun tidak ada. Lebih
kepada hanya mencatut nama saja, tanpa adanya visualisasi yang kuat dan
berwarna. Deskripsi fisik tokoh pun mengalami hal serupa. Menggunakan kemiripan
terhadap tokoh-tokoh terkenal, justru makin mengurangi kenikmatan dalam
“menyatakan” para karakter. Itu tidak menjadi masalah yang terlalu besar, jika
emosi pembaca dan rasa simpati terhadap para karakter mampu terikat kuat.
Konflik Raisa dalam mendapatkan copyright Cedar Incense untuk memperjuangkan nasibnya, para
rekan kerjanya, dan eksistensi AhA Publishing pun terlupakan sejenak dan
diambil alih oleh pagelaran kisah masa lalu Raisa yang berkaitan dengan pria
misterius tersebut (baiklah, saya katakan saja, nama oknum itu adalah Caesar
Soeprobo). Seharusnya, ini dapat menjadi booster untuk menciptakan sebuah cerita tearjerker yang mengharu biru. Penguraian dan
penjelasan yang tarik ulur pada babak warming-up,
sehingga rasa lelah dan bosan terlebih dulu menyergap, serta karakter yang
keberadaannya terasa begitu “jauh” dari lingkungan sekitar pembaca menimalkan
terjadinya hal tersebut dan mengubah atmosfer penceritaan menjadi kelewat
subtil.
Setelah beberapa kali gagal membina ikatan
emosional, pada saat momen puncak di mana peristiwa klimaks yang menjawab
segala teka-teki dihadirkan, perlahan emosi penonton pun dapat tergiring untuk
merasakan betapa kelumit, dilema, dan torehan luka Raisa. Peristiwa-peristiwa
yang mengiringi pun membuat pembaca membangun simpati kepada Raisa yang terluka
parah dengan dunianya yang seakan jungkir balik tanpa aba-aba. Sayangnya, itu
tidak bertahan lama. Menjelang akhir, fokus pembaca pun terpecah belah.
Sebagian karena didera rasa bosan karena penampakan dialog-dialog dalam satu
paragraf yang tak dipenggal, sebagian karena rasa “lelah” mulai menghampiri,
membuat beberapa adegan yang disajikan pun terasa begitu datar, tidak memancing
ekspresi apapun, dan terkadang menimbulkan kesan cheesy. Rasa puas, maupun
kehilangan karena telah berpisah dengan para tokoh pun menguap, sama sekali
tidak meninggalkan jejak bekas.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang saya
sebutkan di atas, Relung Rasa
Raisa berjalan dengan cukup fun. Humor-humor satir yang
disebar mampu meledakkan tawa pembaca dibarengi dengan pengetahuan yang
dimasukkan di sela-sela adegan secara pas. Konflik-konflik yang mengaduk-aduk
emosi Raisa pun dimunculkan dengan porsi yang cukup untuk menjaga napas pembaca
berada di ambang stabil dan terkontrol, namun tetap melibatkan simpati pembaca.
Warna khas teenlit yang masih agak kental di beberapa
bagian pun memberikan warna tersendiri. Teka-teki dengan clue-clue kecil yang saling mengikat dan mungkin
terlewati oleh mata pembaca, tersusun secara rapi. Pencarian motif Jan Marco
begitu gigih dalam enggan memberikan copy
right Cedar Incense ke tangan
Raisa berlangsung cukup seru. Sejumlah part juga bersifat kontemplatif dan
introspektif, “memaksa” pembaca untuk tercenung sejenak dan merenungi apa yang
baru saja dibaca. Namun, mengambil beberapa saat untuk pause sejenak, merehatkan mata dari
rentetan huruf, dan tidak terlalu tergoda untuk tancap gas sehingga malah
melewatkan beberapa poin krusial, sangat dianjurkan agar fokus, emosi, dan
kenikmatan dalam menyelami Relung
Rasa Raisa dapat tetap
terjaga.
6.5/10
stars
Judul: Relung Rasa Raisa
Penulis: Lea Agustina Citra
Penerbit: PlotPoint Publishing
Desain kover: Diela Maharanie
Tahun terbit: Desember 2013
Tebal halaman: 304 halaman
best regards,
Erison
(y) (y)
ReplyDelete