[MOVIE REVIEW] The Fault in Our Stars


Well, hal pertama yang harus saya utarakan setelah menyelesaikan film ini adalah film ini benar-benar brengsek. Yep, this film was totally an asshole. Menyadari bahwa kehidupan itu menyakitkan dan menyaksikan sendiri itu dua hal berbeda. The Fault in Our Stars menunjukkan secara lantang kehidupan, seberapa kuat ditahan, tidak akan menyerah begitu saja dalam menunjukkan keberingasannya. Menggunakan perantara Hazel Grace Lancaster dan Augustus Waters, kisah unconditional love dua insan ini dibawa ke layar perak dengan sentuhan yang begitu mengena. Tidak berusaha tampil sebagai sebuah film drama remaja romantis tearjerker, namun film yang bersumber dari novel berjudul sama karangan John Green yang telah mendulang jutaan penggemar dan pujian dari para kritikus, The Fault in Our Stars berhasil menguras air mata melalui keharmonisan, kelembutan atmosfer, dan kesederhanaannya dalam bercerita. Begitu banyak rasa sakit yang disembunyikan oleh film yang dikemas dalam wajah yang kalem.

Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley, The Descendants, Divergent, The Spectacular Now), seorang gadis berusia 17 tahun, mengidap kanker tiroid stadium empat yang mengharuskannya untuk ditemani sebuah tabung oksigen kemana pun kakinya membawanya. Mencoba untuk membangkitkan kembali semangat Hazel Grace, sang ibu, Frannie (Laura Dern) dan ayah, Michael (Sam Trammell) memasukkan Hazel ke sebuah support group yang diikuti oleh para penderita kanker lainnya dengan berharap Hazel akan mendapatkan teman. Harapan sang orangtua terkabul. Augustus Waters (Ansel Elgort, Carrie, Divergent), yang menggunakan kaki palsu setelah kakinya diamputasi karena osteosarcoma bertemu dengan Hazel Grace di hari pertamanya mengikuti support group bersama temannya, Isaac (Nat Wolff). Di hari pertama berkenalan, Augustus sudah berhasil memikat hati Hazel. Dan makin dekat akibat perantara sebuah novel berjudul An Imperial Affliction karya Peter van Houten (Willem Dafoe) yang selalu dibaca Hazel berulang kali. Keduanya intens mendiskusikan apa yang terjadi terhadap tokoh-tokoh di dalamnya dikarenakan cerita selesai di pertengahan kalimat.

Hazel akhirnya berhasil mewujudkan impiannya untuk bertemu dengan sang pengarang, Peter van Houten, yang mengasingkan diri di Amsterdam dengan keputusan sepihak Augustus untuk menggunakan wish yang diberikan oleh organisasi Genies. Wish Hazel sendiri telah digunakannya kala berusia 13 tahun untuk mengunjungi Disneyland. Kondisi Hazel yang memburuk mewajibkan sang ibu untuk menemani anaknya ke Amsterdam untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah menghantuinya sekian lama bersama Augustus Waters.

Melalui penceritaan dengan atmosfer yang cerah, cenderung menjurus ke ranah ceria, dan tone yang lembut, apa yang hendak disampaikan (baca: ditohok) John Green kepada para pembacanya dengan telak menendang ulu hati. Dengan penyakit kanker yang diidap oleh rata-rata tokoh dalam The Fault in Our Stars, John Green memperlihatkan sisi berlawanan dengan cerita kebanyakan yang akan memfokuskan lensa terhadap kanker dan mengembangkannya menjadi sebuah cerita tearjerker yang depresif. Membiarkan pasangan sejoli ini bersenang-senang terlebih dahulu, melupakan sejenak bahwa dunia ini begitu luas, saling melempar canda dan tawa, dan kemudian dengan kejam melempar bom molotov. Inilah senjata utama dari John Green. John Green mampu mengkonstruksikan sebuah drama yang sungguh menyentuh lewat penceritaannya yang sederhana tanpa memaksakan drama yang termehek-mehek. Seiring dengan perkembangan kisah cinta Hazel dan Augustus, penonton juga digiring untuk melihat sebuah kehidupan dari sisi yang lain, sisi para penderita kanker yang setiap saat diliputi perasaan kalut dan cemas, para penderita kanker yang harus menahan derita psikis berulang-ulang kali, dan yang paling mengiris hati, sampai mereka kebal sendiri terhadapnya. Inilah yang merekatkan chemistry antar Hazel dan Augustus, meskipun Elgort kurang dapat mengimbangi Woodley. Keduanya tetap menertawakan masalah satu sama lain, begitu harmonis dan selaras, sama-sama tenggelam dalam pusaran mabuk cinta yang melenakan. Sampai kehidupan menunjukkan pisau belati yang disimpannya baik-baik.

Ketegaran yang ditampakkan oleh para tokoh, di satu sisi, memberikan efek yang kontemplatif dan insightful bagi kita yang cenderung memelihara kebiasaan membesar-besarkan masalah yang sebenarnya kecil, dan di sisi lain, memunculkan keinginan memaki-maki dan mendamprat hidup sekurangajar mungkin karena berlaku sedemikian tidak adil terhadap para tokoh yang begitu mendambakan "keadilan", namun tidak mendapatkannya, meskipun telah berjuang keras melawan terjangan tsunami. 

And, fortunatelyThe Fault in Our Stars memiliki Shailene Woodley, gas dan rem yang mempercepat dan memperlambat laju emosi dengan akting cermatnya, Sebagai sentral utama penggerak cerita, Shailene Woodley memang memegang kunci atas keberhasilan The Fault in Our Stars berjalan dengan cukup mengesankan. Tanpa Woodley, maka dengan materi cerita yang begitu matang sekalipun, The Fault in Our Stars akan tampil emotionless. Namun, di beberapa bagian, masih terasa Woodley kepalang tanggung dalam meluapkan emosi Hazel Grace yang sedang meletup-letup. Pendampingnya, Ansel Elgort, menunjukkan peningkatan akting yang cukup signifikan dari Carrie yang intonasi kalimatnya begitu-begitu (datar) saja dan Divergent dengan porsi tampil yang sangat minim. Elgort mampu mengerahkan usaha terbaiknya di part-part Augustus Waters merasakan tekanan emosi yang mendalam. Di luar dari “area” tersebut, Elgort masih belum dapat mengimbangi Woodley dalam mengendarai The Fault in Our Stars. Charm Elgort masih belum ampuh dalam menaklukkan imajinasi saya dalam memvisualisasikan sosok Augustus Waters yang mematikan dengan kata-katanya yang hobi melelehkan es-es beku. Spotlight hanya terfokus pada Woodley. Sementara para pemain lainnya, seperti Laura Dern, Sam Trammell, Nat Wolff, dan Willem Dafoe, juga turut membantu Woodley dan Elgort dalam mengeksplorasi karakternya.   

Pengeksekusian perjalanan menuju tahapan ending dari Scott Neustadter dan Michael H. Weber ((500) Days of Summer (2009), The Spectacular Now (2013)) dalam penulisan skrip, menimbulkan kesan anti-klimaks dan terburu-buru dengan pemotongan beberapa adegan dari versi bukunya. Proses antara klimaks yang cukup emosional dan menderaikan air mata menuju tahapan penyelesaian dihantarkan dengan kecepatan, yang meminimalkan terjadinya konflik emosi dan berkurangnya intensitas timbulnya perasaan adanya space yang kosong tatkala harus meninggalkan (dan ditinggalkan) oleh The Fault in Our Stars.

Usaha Josh Boone (Stuck in Love, 2012) dalam menerjemahkan mahakarya John Green yang satu ini patut diapresiasi. Tak hanya sebagai sebuah film drama remaja romantis, The Fault in Our Stars juga berperan ganda sebagai sebuah “perjalanan” personal dalam berpetualang menemukan definisi tersendiri dari kehidupan dengan menawarkan kacamata dari sudut pandang yang berbeda. Neustadter dan Weber berhasil menyampaikan maksud yang ingin disampaikan John Green dalam ceritanya yang menyimpan banyak sakit dan luka di balik “kepolosannya”. 

best regards,
Erison


Rating:
8/10 stars

Directed by Josh Boone | Screenplay Scott Neustadter, Michael H. Weber, John Green (based upon the book by) | Produced by Marty Bowen, Wyck Godfrey, Michele Imperato, Isaac Klausner, Bert Nijdam | Cast Shailene Woodley, Ansel Elgort, Nat Wolff, Laura Dern, Sam Trammell, Willem Dafoe, Lotte Verbeek | Music Mike Mogis, Nate Walcott | Cinematography Ben Richardson | Editing Robb Sullivan | Casting Ronna Kress | Costume Design Mary Claire Hannan | Production Design Molly Hughes | Art Decoration Gregory A. Weimerskirch | Set Decoration Merissa Lombardo | Running Time 126 minutes | Rated PG-13 for thematic elements, some sexuality and brief strong language


No comments:

Powered by Blogger.