[BOOK REVIEW] Flavia Fights Back


Setelah menelurkan novel debutnya, Flavia de Angela (2012), Lea Agustina Citra terlibat dalam proyek keroyokan, yaitu Bukan Cupid, Autumn Once More, dan Tales from the Dark. Produktivitas sang penulis dalam dunia tulis menulis berlanjut dengan dua buah novel karyanya yang terbit dalam waktu berdekatan; Relung Rasa Raisa (PlotPoint) pada akhir tahun 2013 dan Flavia Fights Back (GPU) pada Februari tahun ini, yang merupakan lanjutan kisah Flavia setelah mendapatkan gelar Sarjana Malaikat. Nah, sekadar bagi-bagi cerita saja, untuk merayakan terbitnya Flavia Fights Back, Kak Lea mengadakan kuis di Facebook—dan singkat cerita, saya terpilih menjadi salah satu yang beruntung. *gratisan-mode: onMuchas gracias!

Cerita dimulai dengan keterlambatan Flavia ke proses wisuda kekasihnya, Ares de Angelo dari pendidikan Angkatan Laut Kahyangan akibat Terowongan Malaikat yang tidak bisa diakses, sehingga Flavia yang sudah cantik-cantik berdandan dari Ciudad de Luz harus mengepakkan sayapnya secepat mungkin untuk sampai ke tempat tujuan. Hari-hari berlanjut. Meskipun sudah menjadi Sarjana Malaikat dan mendapatkan predikat tertinggi dalam sejarah pendidikan Kahyangan, Flavia masih belum mendapat pekerjaan—alias pengangguran. Alasan sederhana; tak ada yang cocok. Sampai suatu hari, datang surat dari Kerajaan Langit yang menawarkan pekerjaan sebagai konsultan pribadi Putri Zeca Elleonore Phillips de Angela yang pembangkang dan bandel luar biasa. Tidak sampai di situ kejutan yang diterima Flavia, ia harus menghadapi kenyataan juga bahwa kekasih yang dicintainya harus meninggalkannya ke Isla de Malvinas, pulau terpencil yang bahkan tak ada di dalam peta, karena urusan pekerjaan. Dipastikan jadwal Ares akan sibuk setiap saatnya. Belum lagi dengan kehadiran Pangeran Cesz, abang Putri Zeca, ke dalam hidup Flavia yang makin meramaikan suasana. Apa misi yang diemban Ares? Bagaimana si cantik Flavia bertahan hidup tanpa Ares di sampingnya? Dan apa yang sebenarnya akan terjadi selanjutnya?

Membaca Flavia Fights Back rasanya seperti berjalan-jalan sungguhan ke Kahyangan olahan imajinasi sang penulis. Bab-bab pertama diawali dengan curhatan dan keluh kesah Flavia—juga kisah cintanya. Lea memberikan ruang lebih banyak bagi para pembaca untuk mengenal sistem pemerintahan, tradisi-tradisi, dan seluk beluk Kahyangan lebih jauh lagi untuk memberikan gambaran yang mendetail. Sayangnya, paruh pertama novel terasa panjang dan memberikan kesan agak bertele-tele—akibat kelebihan mengekspos hubungan antara Flavia dengan Pangeran Cesz. Sempat terlintas di benak saya, ini ceritanya mau dibawa ke mana sih?. Plot yang disajikan Flavia Fights Back sangat sederhana, sebetulnya. Namun, penggunaan gaya bahasa ditambah dengan setting Kahyangan beserta hal-hal unik yang memancing daya imajinasi pembaca, serta konflik-konflik dan twist-twist yang dihadirkan—khususnya pada paruh kedua novel—membuat petualangan Flavia nikmat untuk dilalui. Hanya saja, ya itu, ada bagian-bagian di paruh pertama yang terasa panjang dan tak terlalu berpengaruh pada jalannya cerita yang dapat dihilangkan.

Masuknya karakter-karakter baru, seperti Putri Zeca dan Pangeran Cesz makin menyemarakkan cerita. Plus Flavia yang kini sudah tinggal bersama keluarganya di El Centro de Paraiso dan sering berceloteh dengan keluarganya, terutama sang kakak, Lhea, yang serius dan kocak. Belum lagi Flavia yang belum sepenuhnya dewasa dan kita diajak untuk merasakan pergolakan batin Flavia yang masih labil. Juga sahabat-sahabat Flavia, Keyala dan Daletha, yang makin bertumbuh dewasa sekaligus masih lucu. Nuansa kekeluargaan dan romantis sangat mendominasi. Salah satu yang saya suka dari novel ini adalah hal-hal yang diceritakan pada bab-bab awal yang mungkin saja luput dari perhatian pembaca, ternyata memiliki efek yang sangat besar pada nasib para tokoh ke depannya. Belum lagi, Lea yang sukses dalam membangun suasana ketar-ketir dan penuh ketegangan—juga menggemaskan—saat Flavia menghadapi dentuman bencana dalam hidupnya. Setelah berjalan sedikit lambat di paruh awal, alur mulai bergerak cepat saat ada berita menghebohkan di Kahyangan, yaitu...... *beep! beep! beep!* silakan dibaca saja bukunya, ya! Pada poin itulah, mata saya terbuka selebar-lebarnya dan tak mau menutup buku yang sedang kupegang, meskipun panggilan alam begitu mendesak untuk dituntaskan—sampai akhirnya memang sudah tak dapat ditahan lagi, haha.

Selain itu, banyak pesan—banyak sekali—yang dimasukkan Lea dalam novelnya kali ini—baik secara tersirat maupun tersurat. Poin plus dimana penggunaan bahasa Kahyangan yang merupakan bahasa Spanyol, juga bahasa Vietnam. Satu hal lagi yang saya sukai dari Flavia Fights Back adalah unsur humor yang diselipkan pada timing yang pas—bahkan pada saat-saat genting sekalipun—sehingga memicu tawa sekaligus memacu adrenalin (mengingatkan saya akan Drag Me to Hell besutan Sam Raimi yang berhasil membuat penonton takut dan tertawa di saat yang bersamaan, juga Frozen dengan karakter Anna yang quirky dan Olaf, si boneka salju).

Seperti yang sudah saya katakan di awal tadi, jika di novel pertama lebih difokuskan pada kesibukan Flavia dalam menuntaskan skripsinya, sehingga porsi yang diberikan untuk mendeskripsikan Kahyangan minim, di Flavia Fights Back, rasa penasaran dan imajniasi pembaca akan dirangsang untuk membayangkan tempat-tempat indah yang dikunjungi dan keajaiban-keajaiban yang didapat Flavia. Kita mulai mendapatkan gambaran penuh seperti apa Kahyangan itu, apa saja fasilitas-fasilitas yang terdapat di Kahyangan, bagaimana kehidupan seorang Sarjana Malaikat, dan tradisi, budaya, serta kebiasaan para malaikat yang ada di sana. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri dan juga penyelamat dari bagian-bagian yang terasa panjang di paruh awal novel.

Jika harus membandingkannya dengan Flavia de Angela, saya jauh lebih menyukai Flavia Fights Back. Dengan gambaran Kahyangan yang indah dan pas, kehidupan Flavia yang bukan lagi seorang mahasiswi yang sibuk membereskan skripsinya, dan kejutan-kejutan baru serta petualangan tak terduga yang dimunculkan Lea di sini, membuat Flavia Fights Back jauh lebih unggul dibanding pendahulunya. Rasanya tak sabar ingin menikmati perjalanan Flavia yang selanjutnya lagi (ada nggak ya? Lirik penulisnya, hihi). Dari ketiga cerpen yang masuk dalam antologi Bukan Cupid, Autumn Once More, dan Tales from the Dark, serta seri Flavia, saya suka dengan gaya bercerita Lea yang santai, tidak terburu-buru, mengalir, selalu berhasil mengikat pembaca dengan tokoh utama secara emosional, serta riset-riset yang dilakukannya untuk memperkaya dan menghidupkan isi cerita, sekaligus menambah pengetahuan umum.

Sip lah. Saya tidak akan melewatkan Relung Rasa Raisa—begitu juga karya-karya Lea yang akan datang. See you soon, Raisa! :)

8.5/10 stars

Judul: Flavia Fights Back
Penulis: Lea Agustina Citra
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Desain kover: Fransisca Rivan
Tahun terbit: Februari 2014
Jumlah: 432 halaman 

best regards,
Erison

No comments:

Powered by Blogger.