Celebrating the 24th Birthday of Jennifer Lawrence!
Menjelang pertengahan tahun 2012 silam,
tepatnya pada bulan Mei, saya bertemu dan berkenalan secara langsung dengan
kisah yang sangat fenomenal dan telah membentuk saya, kisah buah imajinasi dari
seorang Suzanne Collins, The Hunger Games. Beberapa bulan terakhir
sebelum Mei 2012, di jejaring sosial Twitter, berkali-kali saya membaca satu
kata yang asing, Mockingjay. Setelah saya telusuri, Mockingjay adalah
judul dari sebuah buku, buku final dari trilogi The Hunger Games. Dan
penyebab kenapa begitu sering disebut-sebut dalam Twitter adalah saat itu, buku
Mockingjay terhitung baru saja dirilis. Makin bingunglah saya. Apa ini The
Hunger Games? Lomba lapar-laparan? Siapa yang paling lapar sampai kondisi
fisik tinggal kulit menyelimuti tulang, dinobatkan sebagai sang jawara? Semula
saya tidak menaruh minat. Saya bukan pembaca yang gemar akan buku terjemahan,
karena pernah sekali merasa “ditipu” dengan satu buku terjemahan yang tata
bahasanya amburadul dan membingungkan.
Maret 2012. Versi film dilempar ke pasar.
Saya masih belum ngeh apa itu Hunger Games. Beberapa kali membaca
review untuk film tersebut dan rata-rata memberikan feedback yang
cukup positif. Gambaran sekilas cerita pun saya dapat. Namun, belum sampai
membuat saya menggebu-gebu untuk memburu buku tersebut. Mei 2012. Saya sedang browsing
di toko buku Gramedia, melihat penampakan The Hunger Games yang dibalut
sampul bergambarkan sebuah pin berbentuk seekor burung emas. Pada waktu yang
sama, saya juga sedang mengincar Tokyo Zodiac Murders. Jadilah, saya di
ambang dilema antara meraih novel The Hunger Games yang saya sama sekali
tidak tertarik atau Tokyo Zodiac Murders yang sudah saya nanti-nantikan
semenjak penerbit GPU mengumumkan buku ini dalam daftar coming soon.
Setelah menimbang-nimbang entah berapa lama—semoga di kamera CCTV, tampang saya
tidak terlihat seperti seseorang yang sedang sembelit dan menahan diri untuk
tidak mengambil langkah seribu menuju toilet—tangan saya akhirnya menggapai
sebuah buku yang—bagi saya—sangat kontroversial, mengubah hidup saya, mengubah
cara pandang saya, membentuk saya sedemikian rupa menjadi seorang individu yang
berbeda, The Hunger Games.
Saya terenyak saat membaca bagian Primrose
Everdeen diutus untuk mengikuti kompetisi Hunger Games. Prihatin dan meringis
saat mencapai perjuangan Katniss bertahan di dalam arena. Geregetan serta
mencak-mencak saat Katniss diserang dengan lontaran bola api. Mendesah,
menggigit bibir, menahan napas, adrenalin terpancing, kebutuhan alam yang
berdemonstrasi untuk dituntaskan adalah hal yang lumrah terjadi pada saya
ketika dalam perjalanan menuntaskan The Hunger Games. Sampai di bagian ending—memunculkan
efek seperti menunggu kabar dari pacar yang sedang berada di luar negeri yang tak kunjung
menghubungi. Berhari-hari saya begitu penasaran dengan apa yang akan
terjadi pada Katniss dan Peeta nantinya. Apa tindakan yang akan dipilih oleh Presiden Snow terhadap keputusan Katniss yang berani dan secara terang benderang,
mencoreng wajahnya dan kekuasaan Capitol, serta memercikkan api pemberontakan
di distrik-distrik? Bagaimana kehidupan Katniss dan Peeta di Distrik 12 setelah
selamat dari maut? Seperti apa kelanjutan hubungan yang mereka jalin? Akan
seperti apa Panem nantinya?
Maka, tahap selanjutnya terjadi. Saya mulai
duduk di depan laptop, mengubek-ubek Google, mencari info selengkap
mungkin tentang The Hunger Games. Profil pengarang. Resensi-resensi
penikmat buku. Daftar aktor dan aktris pengisi cast The Hunger Games.
Saya tidak tahu menahu siapa itu Jennifer Lawrence. Saya belum terjangkit virus
movie addict. Berharap dapat menyaksikan adegan—meskipun cuma secuil—dari
filmnya, saya berlari ke situs YouTube. Beberapa visualisasi dari apa yang
diceritakan Suzanne Collins saya dapatkan, makin membuat saya tak sabaran.
Puluhan video wawancara para pemeran di premier film juga saya temukan. Iseng,
saya menontonnya. Tak disangka, perut saya dikocok tanpa henti. Jemari saya
mengetik kalimat “Jennifer Lawrence Interview” di kolom Search. Deretan video wawancara Jennifer Lawrence dalam berbagai program talkshow muncul. Nama
Jennifer Lawrence mulai dikenal publik berkat aktingnya sebagai Ree Dolly dalam
film indie adaptasi novel, Winter’s Bone. Nominasi Academy Award
pertamanya diterima pada tahun 2011. Kepribadiannya yang humble, tipe girl-next-door
dan I-can’t-not-photo-bomb-somebody-if-it’s-a-good-opportunity yang
berada di daftar people-i-wanna-be-friends-with semua orang, smart,
jawaban-jawabannya yang spontan, membuat saya percaya akan love at first
sight. *mohon dimaafkan*
Jadilah saya menjadi penggemar Jennifer
Lawrence semenjak saat itu—tanpa menonton satu pun film yang dibintanginya.
Saya beralih ke situs IMDb. Judul film X-Men:
First Class terdaftar di daftar filmografinya. DVD-nya saya peroleh di toko
DiscTarra. Dari First Class, saya memburu DVD film Jennifer Lawrence
yang lain. Perlahan, saya pun mulai ketagihan menonton film. Judul-judul dengan
sinopsis yang menggugah rasa penasaran serta trailer yang cukup
menjanjikan, membawa saya mengenal aktor dan aktris Hollywood yang lain. Perhatian
saya tetap tertuju pada Jennifer Lawrence—sampai sekarang.
2 tahun sudah saya menjadi penggemar berat
dari Jennifer Lawrence. Bukan hanya karena keelokan fisiknya, tetapi karena
ialah, saya bisa menjadi seperti sekarang. Kepribadian saya terbentuk dan
terpahat seiring saya mengenal lebih jauh sosok Lawrence. Sosoknya menginspirasi
begitu banyak kawula muda—termasuk saya. Pandangan saya akan hidup meluas
hingga berkali-kali, berjuta-juta, bermiliar-miliar kali lipat. Jennifer
Lawrence telah membantu saya menjadi seseorang yang saya inginkan, membangunkan
saya untuk mencari tahu apa yang saya cari, menjelma diri saya sendiri, dan
sebodo amat tentang pendapat negatif destruktif orang-orang di sekitar saya.
Tepat hari ini, tanggal 15 Agustus 2014,
sosok yang menjadi salah satu role model dan “penyelamat” saya bertambah
usianya menjadi angka 24 dibarengi kedewasaan yang kian matang. Selamat ulang
tahun, Jennifer Lawrence. Terima kasih telah begitu banyak menginspirasi saya.
Semoga karirmu makin menanjak dan pesonamu terus bersinar. Kesehatan dan
kebahagiaan menyertaimu selalu.
Happy 24th Birthday, Jennifer Lawrence!
best regards,
Erison
No comments: