[MOVIE REVIEW] Silver Linings Playbook


Diadaptasi dari novel The Silver Linings Playbook karya Matthew Quick, film ini tampak menjanjikan. Ditambah dengan David O. Russell yang ditunjuk sebagai sutradara dan didukung dengan aktor kelas atas (baca: Oscar), seperti Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert De Niro, dan Jacki Weaver. Ditambah lagi, film Silver Linings Playbook berhasil meraup 8 nominasi Oscar atau Academy Award ke-85! Di antaranya, Best Actress, Best Actor, Best Motion Picture, Best Actress in a Supporting Role, Best Actor in a Supporting Role, Best Achievement in Editing, Best Director, dan Best Screenplay. Bahkan, Jennifer Lawrence berhasil mengalahkan aktris senior, Meryl Streep dalam ajang Golden Globe 2013. Silver Linings Playbook tentunya patut dipertimbangkan!


Film dibuka oleh Pat Solitano (Bradley Cooper) yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena didiagnosa menderita Bipolar Disorder selama 8 bulan karena istrinya, Nikki (Brea Bee) kepergok bersama dengan rekan kerja Pat dan Pat menghajar guru sejarah itu dengan liar dan hampir tewas. Sang ibu, Dolores (Jacki Weaver) datang menjemput Pat Jr. ke rumah mereka di Philadelphia. Sang ayah, Pat Sr. (Robert De Niro) adalah seorang fanatik Philadelphia Eagles dan mengira Pat kembali untuk menghabiskan waktu bersamanya, ternyata Pat punya tujuan lain—ingin kembali bersama Nikki. Segala keinginan Nikki pun diwujudkan oleh Pat dan semuanya hampir tercapai. Jalan semakin terbuka bagi Pat ketika bertemu dengan Ronnie, sahabat lamanya yang menawarkan Pat untuk makan malam bersama istrinya, Veronica. Pat menyanggupi dan bertemu dengan Tiffany Maxwell (Jennifer Lawrence) yang adalah saudari Veronica. Tiffany sendiri juga dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena depresi setelah suami yang sangat dicintainya, Tommy meninggal dalam kecelakaan lalu lintas dan melampiaskannya dengan bercinta dengan seluruh rekan kerja di kantornya. Tiffany, Veronica, dan Ronnie sendiri berteman dengan Nikki. Tiffany perlahan mulai membuka dirinya dan menerima Pat sebagai teman bahkan menawarkan Pat untuk membantunya memberikan surat kepada Nikki! Pada adegan ini, saya bisa melihat Jennifer yang bertransformasi menjadi seorang Tiffany yang janda dan berusia jauh melampaui usianya yang baru berusia 22 tahun. Jennifer memainkan karakter Tiffany dengan baik dengan segala outlook-nya dan sifat Tiffany yang mudah tersinggung dan terluka. Tiffany memberikan satu syarat demi memuluskan keinginan Pat, yaitu menjadi partner dansanya dalam kompetisi lomba dansa di Benjamin Franklin Hotel. Apakah Pat berhasil kembali dengan Nikki?



Bradley Cooper yang bisa kalian jumpai dalam Limitless dan seri The Hangover bermain cantik dengan karakter Pat Solitano. Untuk Jennifer Lawrence... saya kehabisan kata-kata. Tentu, nama Jennifer Lawrence sudah tidak asing lagi. Namanya meroket di dunia perfilman Hollywood sejak keberhasilannya mendapat nominasi Oscar atau Academy Award ke-83 atas perannya sebagai Ree Dolly di film Winter’s Bone. Jennifer juga ditunjuk untuk memainkan karakter Katniss Everdeen di seri film The Hunger Games yang sudah memiliki banyak fans sejak kemunculan novelnya. Jennifer memainkan Tiffany dengan sangat baik, walaupun karakter yang diperankannya di film ini sangat berbeda dengan karakter yang biasa ia perankan yang usia karakternya tidak terlampau jauh dari usianya yang sebenarnya. Seperti yang dikatakan Tiffany dalam film ini, “Old enough to have a marriage end and not wind up in a mental hospital.” yang artinya usia Tiffany jauh lebih tua dibanding usia Jennifer. Namun, Jennifer berhasil memproyeksikan Tiffany dengan sangat baik. Sifat Tiffany yang misterius berhasil ditunjukkan Jennifer dengan bagus. Apalagi saat adegan Tiffany dan Pat sedang makan malam di sebuah restoran dimana Tiffany tersinggung dan “menggila”. Saya bisa melihat jiwa Tiffany yang ada di setiap gerak-gerik Jennifer. Plus, dengan kata-kata yang dilontarkan Tiffany yang kasar sekaligus menohok. Bipolar Disorder yang diproyeksikan oleh Bradley Cooper juga terlihat meyakinkan dan pribadi Pat yang sangat terobsesi untuk kembali kepada Nikki sangat berhasil ditunjukkan Cooper.



Robert De Niro yang berperan sebagai ayah Pat, berhasil mencuri perhatian dengan hubungannya dengan Pat Jr. yang kurang harmonis. Ada satu adegan dimana Robert De Niro menghampiri Bradley Cooper yang sedang tidur dan mengutarakan keinginannya untuk menghabiskan waktu bersama Pat menonton pertandingan sepakbola tim kesayangan mereka, Philadelphia Eagles. Adegan ini sangat menyentuh sekaligus menampar habis-habisan. Air mata yang hampir bercucuran dari mata Pat Sr. dan kata-kata yang keluar dari mulutnya berhasil membuat penonton ikut merasakan gejolak hati sang ayah. Hampir saya meneteskan air mata menonton adegan yang begitu emosional. Jacki Weaver yang memainkan karakter Dolores, ibu Pat, ikut mencuri perhatian walaupun dengan porsinya yang sedikit. Salah satunya, saat Pat depresi mencari video pernikahannya dengan Nikki yang sudah dicarinya dimanapun tidak ada. Namun, di beberapa adegan, Jacki Weaver tidak tampak terlalu “kuat”, tapi saya bisa merasakan emosi dan kebahagiaan seorang ibu yang melihatnya anaknya “kembali” lagi. Adegan dimana Jacki Weaver menangis saat melihat Tiffany dan Pat mengikuti kompetisi dansa berhasil membuat saya jatuh hati dan turut merasakan gejolak batin ibu Pat. 



Alur cerita atau plot film ini sekilas mungkin terlihat biasa, namun Silver Linings Playbook berbeda. Cekcok mulut antara Pat dan Tiffany sangat cepat dan menohok. Pertemuan-pertemuan Pat dengan Tiffany juga tidak biasa. David O. Russell tidak hanya menekankan film besutannya ini terhadap sisi romantisnya saja, tapi juga mengulik pribadi dari Tiffany sendiri juga Pat, membuat para penonton bersimpati dengan kedua karakter dengan latar belakang yang “kelam”. Berhubung ayah Pat adalah seorang fanatik Philadelphia Eagles, tentu saja banyak hal tentang sepakbola yang ada di dalam film ini dan terdengar agak membosankan, namun David O. Russell berhasil menyeimbangkan kelemahan ini dengan baik. Konflik dan suasana yang dibangun berhasil dipertahankan oleh David dengan baik dan terus mencapai klimaksnya. Durasi sepanjang 115 menit terasa sangat singkat dan tidak membosankan ditambah dengan beberapa adegan yang memicu gelak tawa sekaligus menyentuh hati. Adegan saat Tiffany dan Pat mengikuti kompetisi dansa juga sangat mencuri perhatian. Chemistry yang dibangun Jennifer dan Cooper terjalin dengan baik dan sulit untuk tidak menaruh perhatian kepada Tiffany dan Pat. Salah satu adegan terbaik dari film ini adalah ending-nya yang tentunya saya harus tutup mulut untuk itu, haha. ^^ Meski ada satu adegan yang editing-nya kurang baik, namun film ini sangat enjoyable, romantis, emosional dan menyentuh hati sekaligus kelas atas. Dengan naskah yang tergarap baik, film ini berhasil menempati posisi Top 10 Box Office selama beberapa pekan. Chemistry yang terjalin di antara semua pemain juga terlihat rapi dan tidak dibuat-buat.



Adegan dimana Tiffany dan Pat berdansa adalah adegan terbaik dalam film ini. Sangat sulit untuk tidak jatuh hati dengan film ini, dengan pilihan aktor yang sangat tepat, editing yang baik, setting yang cantik, film ini adalah film besutan David O. Russell yang terbaik. Semoga Jennifer Lawrence dapat membawa pulang Oscar. :)



Akhir kata, saya memberi skor 8.5/10 untuk film bergenre komedi/musikal ini. Great! :) Empat jempol untuk semua kru, aktor, dan sutradara.

You know, for a while, I thought you were the best thing that ever happened to me. But now I'm starting to think you're the worst.” – Tiffany Maxwell

best regards,
Erison

No comments:

Powered by Blogger.